Powered By Blogger

Rabu, 29 Juni 2011

Mencari Jejak Jamaluddin al-Husaini di Tanah Bugis

Mencari Jejak Jamaluddin al-Husaini di Tanah Bugis

Oleh: Mubarak Idrus*
Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.
Kiai Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila, raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).
Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161).
Lalu mengapa nama Jamaluddin al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal perannya cukup penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Jamaluddin al-Husaini telah memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah di bawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini pada tahun 1320 M di daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).
Boleh jadi karena Jamaluddin al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal.
Yang menarik kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri. Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu. Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya (Noorduyn, 1972: 31).
Ini kemudian menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah islamisasi di Nusantara atau Sulawesi secara khusus. Tapi bagaimana akar polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo, dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Sayyid Jamaluddin justru mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya. Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian memohon menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid Jamaluddin dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.
Belakangan, arena latihan yang bernama langka arab menjadi langkara. Kata ini yang kemudian menjadi langgara, lalu berubah menjadi mushallah dan masjid. (KH. Jamaluddin, op. cit: 28). Berbeda dengan Datuk ri Bandang dkk, ketika datang ke Makassar, sistem dakwah yang dikembangkan selain mengajarkan syahadatain mereka langsung mengajarkan sembahyang lima waktu, puasa ramadhan dan melarang perbuatan dosa besar seperti zina, menyembah berhala, membunuh, mencuri dan minum khamar. Dua tahun setelah kedatangan Datuk ri Bandang dkk diadakanlah shalat jum’at di masjid kerajaan Tallo setelah diumumkannya oleh raja Gowa bahwa agama Islam adalah agama resmi yang dianut kerajaan. (Ibid: 35). Islam yang dikembangkan oleh Datuk ri Bandang dkk inilah yang di kemudian hari lekat dengan negara. Dan memang dalam sejarah mainstream, hampir semua penyebar atau pendakwah Islam dekat dengan kerajaan.
Wali songo pun sangat akrab dengan kerajaan. Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang adalah orang-orang yang akrab dengan kerajaan. Karena itu, dapat dimaklumi kalau nalar keislaman yang dikembangkan oleh para pengikutnya adalah nalar-nalar negara. Jadi agama ya sekaligus negara. Dan nalar keislaman yang dikembangkan ini yang nantinya melahirkan nalar atau praktik keagamaan yang formalistik dan “tidak ramah” pada budaya setempat. Bahkan hancurnya beberapa aliran tarekat diduga karena dibabat habis oleh tokoh agama yang mengembangkan nalar formalistik yang berkolaborasi dengan kekuasaan.
Lain halnya dengan yang dikembangkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Husaini atau yang seperti beliau. Hampir semua penganjur Islam model terakhir ini menjaga jarak dengan kekuasaan. Mereka pun tidak mendapat ruang dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Lihat saja bagaimana Hamzah Fansuri yang dianggap sesat oleh Ar-Raniri karena dianggap menyebarkan paham wihdatul wujud. Hak serupa dialami Siti Jenar, Syekh Mutamakkin dsb. Mereka adalah orang yang dianggap sesat oleh ulama-ulama kerajaan saat itu. Begitu pun di Sulawesi. Sebutlah misalnya Latola seorang wali di Desa Samaenre Pinrang, kecamatan Mattiro Sompe, yang bergelar Ipua Walie Pallipa Putewe Matinroe Massiku’na (Tuan Wali yang Bersarung Putih Dan Yang Tidur dengan berbaring pada sikutnya), oleh orang-orang luar dianggap sebagai biang keladi kemusyrikan dan bid’ah di desa tersebut. Padahal dia penganjur Islam yang justru dianggap wali oleh penduduk setempat. Atau Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang sama sekali tidak dikenal dalam sejarah sebagai penganjur Islam. Padahal, perannya sangat vital karena tokoh ini adalah penyebar Islam generasi pertama. Tidak hanya di Sulawesi Selatan tapi justru wali songo pernah berguru kepadanya.
Ada yang menarik dari proses islamisasi di Luwu. Sebelum Datuk ri Patimang sampai di Luwu untuk mengislamkan raja Luwu, dia lebih dahulu singgah di daerah Bua. Di daerah itu, Datuk ri Patimang mengadakan singkarume atau dialog tentang Islam dengan Madika Bua Tandi Pau, pemimpin adat daerah Bua dan beberapa anggota hadat lainnya. Dalam singkarume itu Madika Bua memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apa itu Islam. Bahkan Madika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya oleh Datuk ri Patimang dianggap pertanyaan waliyullah tingkat ketiga.
Akhirnya Datuk Sulaiman atau Datuk ri Patimang mengakui bahwa Madika Bua sesungguhnya telah Islam. Setelah dialog, Madika Bua dan Datuk ri Patimang saling uji kesaktian dan tidak satu pun ada yang kalah atau menang. Tapi pada akhirnya Madika Bua mau mengucapkan syahadatain dan mengikuti Datuk ri Patimang. Setelah Madika Bua mengucapkan syahadatain, barulah Madika Bua bersama Datuk ri Patimang menghadap ke raja Luwu untuk mengislamkan raja Luwu. Nah, jangan-jangan, Madika Bua mendapatkan pengetahuan keislamannya dari Jamaluddin al-Husaini. (SS-Jib)
*Penulis; Staf Divisi Agama dan Kebudayaan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel.
(Sumber: http://www.sekolahdemokrasi-pangkep.org/content-806-mencari-jejak-yang-hilang.html; Image: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE7jklnNNHTprdKpjDD5oOxjqF-lio-X2WhIivLfJ20U9-PtnGrMOd3k03qJGUVBuHLQn1LlB4HvaMYSNxJvs1a4Jk1aUt6Ejj-IybN5LfZR0qXmBf-vZEoOwHpaBEVb6lSal8b0E_B183/s1600/gambar-peta-sulsel.jpg
Catatan:
Judul asli: “Mencari Jejak yang Hilang”

Perjalanan Intelektual Nabi Musa

Perjalanan Intelektual Nabi Musa

Nabi Musa adalah salah satu dari sedikit nabi yang diberi kesempatan Allah SWT menjalani proses pencerahan intelektual. Pencerehan intelektual pertama terjadi pada Nabi Adam. Insya Allah pada edisi-edisi berikutnya juga akan diceritakan proses intelektualisasi nabi-nabi yang lain. Yang menarik, masing-masing pencerahan intelektual yang terjadi pada beberapa nabi khusus, mempunyai pola dan konteks yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan zamannya masing-masing.Proses intelektualisasi Nabi Musa terjadi ketika bertemu dengan Nabi Khidir. Proses tersebut terjadi bukan karena nabi Musa dianggap masih belum mengerti, tapi justru sebaliknya ketika Musa berada pada kualitas SDM paling puncak.
Ada tiga hal setidaknya yang bisa dikemukakan untuk memperkuat argumen bahwa sebelum bertemu Nabi Khidir Musa bukanlah orang bodoh. Pertama, ketika dia melakukan debat terbuka, atau adu argumen tentang Ketuhanan dengan orang nomor satu di Mesir, Fir'aun beserta para kabinetnya. Di depan Fir'aun, Musa yang awalnya grogi (Thaha, 24-28) lalu pelan-pelan menghimpun keberanian memproklamirkan diri sebagai duta Allah SWT (al-A'raf 104).Sudah begitu, Musa juga meminta Fir'aun untuk mengakui Tuhan yang mengutusnya itu sebagai Tuhan Fir'aun juga (al-A'raf 105). Bagaimana ini bisa terjadi, Musa yang pernah menjadi anak asuhnya (Assyua'ra' 18) berani 'sekurang ajar' itu pada orang yang juga ingin dianggap Tuhan. Musa jelas-jelas melecehkan eksistensi ketuhanan Fir'aun.
Tidak cukup sampai di situ, Musa juga pamer bukti bahwa dia benar-benar sedang membawa mandat kerasulan dari Allah SWT. Karena kepercayaan dirinya yang merasa membawa mandat kerasulan tersebut, Musa mengultimatum Fir'aun untuk melepaskan Bani Isra'il yang telah ditawannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.Merasa dipecundangi oleh anak kemarin sore, Fir'aun pun tidak terima. Dia minta ditunjukkan bukti yang dibawa Musa, untuk kemudian diadu dengan kesaktian dari pihaknya (al-A'raf 106). Siapapu orangnya, kalau dia berani melakukan debat terbuka dengan pimpinan tertinggi Negara, pastilah dia bukan orang sembarangan, apalagi orang bodoh, apalagi kalau itu menyangkut citra diri yang sudah dibangun Fir'aun sejak berpuluh-puluh tahun. Kita pun kalau menyangsikan terpilihnya bupati atau gubernur, masih pikir-pikir kalau mau ngomong "Hei, keterpilihanmu inkonstitusional, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku." Mereka pasti didampingi penasehat-penasehat hukum yang pandai berdebat.Kedua, Musa telah mempunyai massa. Massa yang dimaksud adalah dari etnis Bani Israil.
 Ketika itu Musa meng-advokasi bani Israil dari imperialisme Fir'aun (al-A'raf 129). Dengan tingkat penindasan yang sudah di luar batas. Fir'aun menitahkan membunuh setiap anak laki-laki yang lahir tanpa boleh ada yang terlewat (al-A'raf 127). Tujuan pragmatis Fir'aun atas tindakan itu agar kelak tidak ada yang merongrong kekuasaan dinastinya. Tapi dampak di luar itu sungguh luar biasa, karena sekaligus berakibat memandulkan regenarasi etnis Bani Israil. Kalau hanya perempuan saja yang ada, mana bisa sebuah masyarakat melakukan regenarasi. Paling-paling hanya akan menjadi obyek kekerasan seksual Fir'aun dan anak buahnya.Kekerasan demikian mungkin hanya bisa disejajarkan dengan tindakan Hitler atas penumpasan bangsa Yahudi di abad lalu. Advokasi pada masyarakat demikian tentunya tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Advokatornya setidaknya harus punya kecerdikan, nyali, kepekaan sosial tinggi, dan mental baja. Itulah Musa.
 Musa berhasil mengorganisir Bani Israil hingga tumbuhlah kepercayaan dirinya untuk mengemukakan pendapat (al-A'raf 138). Perjuangan Musa membela Bani Israil mungkin mirip dengan Mahatma Gandhi yang memerdekakan rakyat India dari penjajahan Inggris, dengan Cheguivara yang memperjuangkan rakyat Cuba dan Amerika Latin dari penjajahan Amareka Serikat, serta dengan Nelson Mandela yang memerdekakan rakyat Afrika Selatan baru-baru ini.Ketiga, Musa telah dibekali Taurat (al-A'raf 142-145).
Perlu diketahui, Taurat adalah kitab suci pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusia, dan hanya ada empat orang yang mendapat kitab suci serupa. Maka pastilah empat orang tersebut merupakan orang-orang terbaik sepanjang kesejarahan manusia. Sebelum menarima Taurat, Musa terlebih dahulu menjalani diklat. Diklat ini digambarkan sebagai diklat yang sistematis karena dilakukan dalam waktu yang terprogram dengan jelas, yaitu 40 hari (al-A'raf 142).
Peristiwa ini sebenarnya adalah perjalanan intelektual pertama Nabi Musa.Setelah melalui track record demikian, Allah rupanya masih menganggap Musa perlu menjalani Diklat lanjutan. Maka dengan mekanisme-Nya, dikondisikanlah Musa untuk bisa menjalani Diklat lanjutan itu. Kali ini tentor yang ditunjuk adalah Nabi Khidhir (Kahfi 65-66). Mengawali pembelajarannya, Khidhir mengajukan syarat yang aneh untuk ukuran dunia pendidikan dan pelatihan. Musa tidak boleh menanyakan sesuatu apapun sebelum Khidhir menjelaskannya sendiri (Kahfi 70). Benar saja, bersama Khidhir, Musa menghadapi keganjilan demi keganjilan.Pertama-tama, pada suatu pelayaran Musa mendapati Khidhir melobangi kapal yang sarat penumpang. Perilaku ini tidak bisa membuat Musa tinggal diam, dia meminta penjelasan, kenapa Khidhir melakukan perbuatan konyol itu. Bukankah akan fatal akibatnya, seluruh penumpang akan hanyut, termasuk mereka berdua. Protes Musa tersebut membentur ruang kosong, karena Khidhir tidak mau menjawab. Malah sebaliknya Khidhir mengatakan, kamu lupa janjimu di awal (Kahfi 71-72).Lalu keganjilan berikutnya terjadi, Khidhir sekonyong-konyong membunuh seorang anak kecil yang tidak berdosa. Di mata Musa yang seorang Nabi, perbuatan membunuh orang lain jelas tidak bisa dibenarkan, kalau orang lain tersebut tidak melakukan kesalahan yang seimbang, misalkan karena dia juga membunuh. Lagi-lagi Musa protes, dan lagi-lagi Khidhir mempunyai jawaban yang sama. Musa tersadar bahwa dia kembali melanggar persyaratan. Dia pun mengatakan ini protes terakhir kali. Kalau setelah ini protes lagi, maka disudahi saja pembelajarannya, karena berarti dia tidak lulus (Kahfi 74-76).Selanjutnya, ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan, sampailah pada suatu pemukiman penduduk. Karena energi sudah terkuras habis, mereka mencari makanan kesana-kemari, tapi ternyata tidak ada toko makanan, food court, pedagang kaki lima, atau sejenisnya yang menjual sesuatu untuk mengganjal perut dan menghilangkan dahaga. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk meminta belas kasihan pada penduduk. Malangnya, tidak seorangpun yang merasa iba dengan kondisi mereka yang telah melakukan perjalanan jauh. Semua penduduk daerah tersebut bersikap dingin terhadap dua orang asing itu (Kahfi 77), entah karena solidaritas sosialnya rendah atau karena curiga.Dengan kondisi prihatin seperti itu, tiba-tiba Khidhir mendirikan tembok yang hampir rubuh. Dalam pandangan Musa, jerih payah itu merupakan kesempatan untuk meminta imbalan. Ketika menyampaikan pemikiran tersebut, serta merta Khidhir memberikan ultimatum pada Musa, bahwa dengan berkata demikian, semuanya telah berakhir. Tidak ada lagi perjalanan intelektual di antara mereka berdua.Dalam penjelasannya kepada Musa (Kahfi 79-82) Khidhir mengajarkan, hendaknya dalam minilai sesuatu jangan hanya mempertimbangkan hal yang kasat mata saja. Karena di dunia ini banyak sekali terjadi fatamorgana. Apa yang tampaknya perbuatan jelek, belum tentu merupakan kejelekan pula dalam hakikatnya, demikian juga sebaliknya. Mata hati harus rajin-rajin dilatih agar bisa menjadi sumber pengetahuan dan sumber inspirasi untuk panduan melakukan tindakan. Karena memahami sesuatu haruslah dengan kesadaran (mata hati), bukan dengan prespektif indrawi belaka (al-Hajj 46). Menemukan orang yang sudah lihai menggunakan mata hati –sebagaimana Khidhir- adalah cara cepat mendayagunakan mata hati. Pada pelajaran intelektual tingkat tinggi ini, ternyata Musa yang seorang Nabi tidak lulus. Namun toh demikian dia menjadi orang yang tercerahkan. Dan pada perjalanan berikutnya, dia masuk nominasi lima orang sebagai nabi khusus yang bergelar ulul azmi. Demikian Wallahu a'lam.Rabu, 8 Romadhon 1431 H/ 18 Agustus 2010